Thursday 25 June 2015

BELAJAR DAN BERGURU


Niat yang kuat telah ditancapkan untuk belajar
Untuk menambah ilmu
Ilmu tentang kehidupan
Sampai tiada hentinya mengafirmasinya dalam doa
Memohon bimbinganNya
Mengharap Tuhan memberikan petunjuk

Tapi mengapa dalam waktu yang sama
Kita mengabaikan segala kejadian pada diri dan di sekitar kita
Menutup kepekaan hati dan pikiran kita
Terhadap suara rintik hujan yang jatuh
Padahal melalui kejadian-kejadian itulah
Tuhan memberikan pengetahun
Memberikan petunjuk 
Kepada kita

Tapi mengapa pada saat yang sama
Kita mengabaikan orang yang ditemui
Padahal setiap orang yang ditemui
Merupakan guru bagi kita untuk belajar
Termasuk bertemu orang yang menjengkelkan kita sekalipun

TV HITAM PUTIH ITU JUGA TV WARNA


ilustrasi

Kenapa kita menyebut tv hitam putih itu bukan tv warna?
Padahal warna putih itu ya salah satu warna pelangi
Kurang tepat kalau kita mengatakan ada tv warna dan ada tv hitam putih

Jadi
Kurang tepat juga untuk mengatakan ada orang buta warna
Padahal abu-abu juga termasuk salah satu warna
Barangkali yang lebih tepat adalah
"TV ku warnanya lebih banyak"
atau
"aku dapat melihat warna lebih banyak"

Begitu ibaratnya
Dikala kita mengatakan bahwa keyakinan orang lain hanyalah sebuah konsep
Padahal apa yang kita yakini tidak lain sebuah konsep juga
Hanya saja, kita merasa lebih pas dengan konsep yang kita yakini

Menjadi orang yang terbuka
Adalah bagian dari kesiapan untuk belajar
Untuk menerima hal-hal yang lebih baru
Termasuk menerima bahwa konsep kita tidak sepenuhnya benar

Menjadi orang yang terbuka
Ibaratnya menyiapkan buku tulisnya
Yang akan kita isi dengan catatan baru

Wednesday 24 June 2015

Seperti Inilah Cara Gus Mus Mengajari Kaum Nahdliyyin Menghormati Umat Beragama lain

5 Juni 2015
mustoa
Seperti Inilah Cara Gus Mus Mengajari Kaum Nahdliyyin Menghormati Umat Beragama lain
Suatu hari ada kiyai-kiyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.

Beliau melemparkan pertanyaan, “PPP, PDI, dan Golkar itu wasilah atau ghoyyah?” Para kiyai pun serempak menjawab dengan mantap, “Wasilah!”  (Jalan) Ada yang saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak. Kiyai sepuh ini (mustofa bisri)  Memberikan Pujian , “Nilai 100 untuk bapak-bapak kiyai.”

“NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?” Mbah Mustofa Bisri bertanya lagi. Para kiyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, “Wasilah…” Beliau hanya tersenyum mendengar nada jawaban para kiyai yang mulai terasa berubah.

Pertanyaan terakhir, Mbah Mustofa Bisri pun bertanya Kembali , “Islam, Katholik, Hindu, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah (Tujuan) ” ?

Seketika itu pula ruangan menjadi hening. Tidak ada kiyai yang menjawab. Mbah Mustofa sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para kiyai tersebut tetap hanya diam. Ghoyyah itu artinya tujuan akhir. Wasilah itu artinya sarana menuju.

Kemudian ada kiyai yang balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana?” Dengan mantap beliau menjawab, “Agama Islam adalah wasilah.” Para kiyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah wasilah?!”

Sekali lagi, dengan mantap, Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri menjawab penuh kharisma, “Karena ghoyyah-nya (tujuannya) adalah Allah.” Seketika itu pula, semua kiyai di ruangan tersebut kembali diam semua.

Mbah Mustofa Bisri lantas membuat pengandaian. Kalau Anda ingin ke Jakarta memakai mobil, bus, atau kereta api, tidak akan sampai. Karena Jakarta sedang banjir, maka melalui jalan darat tidak mungkin bisa sampai. Hanya bisa sampai ke Jakarta melalui pesawat terbang. Meski satu-satunya sarana transportasi yang bisa menjangkau Jakarta, pesawat terbang ini tetaplah hanya wasilah (sarana menuju). Maka dari itu, di berbagai kesempatan, Mbah Mustofa Bisri menasehati nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain.

Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menujuNya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.

Jadi, awal mula kesalahan beragama adalah menganggap agama Islam seperti partai politik. Ditambah salah menetapkan apa yang menjadi wasilah dan apa yang menjadi ghoyyah dalam agama Islam.

Akhirnya, bisa tumbuh sikap berlebih-lebihan dalam beragama Islam, dan pada akhirnya menjadi sibuk “kampanye” atribut agama Islam yang disertai kebencian terhadap umat beragama lain. Sehingga justru lupa kepada tujuan pokok agama Islam. Mirip prilaku para anggota partai politik masa kini.

Source: www.islamtoleran.com

Monday 22 June 2015

KESADARAN DIRI

Wahai resi yang berpengetahuan tinggi,
Pada Zaman Kali [Kali Yuga]
yang keras ini,
Usia harapan hidup manusia sangatlah pendek.
Mereka suka bertengkar, malas, tersesat, bernasib sial, 
Dan di atas semua itu,
Mereka selalu resah. 

(Bhagavata Purana, Skanda 1, Bab 1, Sloka 10)

Penjelasan:

Para penyembah Tuhan senantiasa bersemangat untuk memajukan spiritualitas masyarakat umum. Ketika para resi di Naimisaranya menganalisa cara hidup orang-orang di zaman Kali, mereka meramalkan bahwa usia harapan hidup manusia akan menjadi singkat, yang disebabkan bukan oleh kekurangan pangan, melainkan karena pola hidup tidak teratur. Dengan mengelola hidup secara teratur, siapapun akan dapat menjaga kesehatannya. Makan berlebihan, mencari kepuasan indera berlebihan, sangat tergantung pada kemurahan hati orang lain, dan standar hdiup yang artifisial (palsu) menyerap vitalitas energi manusia. Karena itu usia harapan hidup menjadi pendek.


Orang-orang zaman ini juga cenderung sangat malas, tidak hanya dalam hal-hal material, tetapi juga dalam soal kesadaran diri. Kehidupan manusia khususnya dimaksudkan untuk kesadaran diri. Ini berarti, manusia harus berusaha mengetahui siapa dirinya, apa dunia ini, dan apa yang paling benar, atau kebenaran tertinggi. Kehidupan manusia dimaksudkan untuk menemukan cara yang memungkinkan entitas hidup dapat menghentikan segala jenis penderitaan dari usaha keras dalam eksistensi material dan cara untuk kembali kepada Tuhan, rumah abadinya. Tetapi, akibat sistem pendidikan yang buruk, membuat orang tidak berkeinginan untuk kesadaran diri. Bahkan, jika mereka datang untuk itu, malangnya mereka jadi korban guru-guru palsu. 

Pada zaman ini, orang-orang tidak hanya menjadi korban berbagai doktrin dan politik, namun juga menjadi korban teralihkan ke berbagai jenis kesenangan indera. Pikiran mereka selalu resah dan penuh kecemasan akibat berbagai macam kesibukan. Pada zaman ini, banyak manusia bejat telah membuat agamanya sendiri dengan keyakinan tanpa didasari oleh sastera suci manapun. Dan membuka lebar kesempatan bagi orang yang kecanduan kesenangan indera untuk tertarik pada embaga-lembaga semacam itu. Sebagai hasilnya, dengan mengatasnamakan agama, banyak sekali kegiatan berdosa dilakukan oleh orang-orang itu yang kesemuanya tidak menentramkan pikiran dan tidak juga menyehatkan badan. 

Kelompok para siswa (brahmacari) tidak sanggup lagi bertahan lama, dan orang-orang berumah tangga tidak mengikuti aturan-aturan grahsta-asrama. Sebagai akibatnya, orang-orang yang namanya saja vanaprastha dan sanyasi yang berasa dari grahsta-asrama demikian mudah sekali keluar dari aturan yang telah digariskan. Pada jaman Kali, seluruh atmosfer dipenuhi oleh tiadanya sradha (iman). Nilai-nilai spiritual orang tidak bisa dipertahankan lagi. Kini kesenangan duniawi telah menjadi ukuran peradaban. Untuk memelihara peradaban-peradaban duniawi seperti itu, manusia telah membentuk bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang rumit, dan di antara kelompok berbeda itu senantiasa muncul peperangan baik secara terbuka maupun perang dingin. Oleh karena itu, sudah menjadi sangat sulit untuk mengangkat standar spiritual akibat terjadinya distorsi nilai-nilai masyarakat manusia saat ini. Para resi Naimisaranya sangat prihatin dan hendak membebaskan semua roh (jiva) yang jatuh sehingga lepas dari kemelekatannya.

(A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada)

Thursday 18 June 2015

TUHAN SERING MENJADI PESURUH MANUSIA

Walaupun dalam berdoa
Pada umumnya kita memposisikan Tuhan lebih tinggi tempatnya 
Dibandingkan tempat kita

Namun kita sering mendikte Tuhan
Memberikan instruksi kepada Tuhan
Mendiktekan wish list yang harus dipenuhi Tuhan
Dan kita tidak memberikan kesempatan Tuhan bicara 
Tuhan menjadi harus diam 
Tuhan seolah harus mendengarkan apa yang kita sampaikan


Berapa kali dalam sehari hal itu terjadi?

Ada saat nya kita yang diam
Ada saatnya kita duduk manis tanpa kata-kata, hening, pasrah 
Ada saat nya kita yang mendengarkan
Ada saatnya Tuhan yang bicara dan kita yang diam

Ada saatnya?
Ataukah memang harusnya setiap saat?

(SadhGuru)

AKU HANYA INGIN BERTANYA DAN BUTUH JAWABAN


Judul postingan ini saya ambil dari salah satu lagunya Ebiet G Ade
Tapi isi postingan ini sama sekali tidak ada kaitan dengan lagu tersebut

Bertanya (mempertanyakan) adalah kelebihan manusia dibandingkan binatang, menurut saya
Sudah selayaknya, manusia menggunakan kelebihan itu
Kalau tidak, sayang kalau disia-siakan terbengkalai
Dan karenanya, adalah hal yang manusiawi
Kalau ada orang yang bertanya sesuatu
Bahkan di jaman yang kita sebut modern ini pun
Anak-anak di-encouraged, dianjurkan, untuk bertanya
Beda dengan anak-anak sekolahan jaman dulu
Yang hanya menerima apa adanya

Sebaliknya, 
Para orang tua, dan para guru, dipandang sudah kuno
Kalau masih mengharap anak didik mau menerima sesuatu apa adanya
Apalagi disertai dengan ancaman

Larangan ataupun anjuran ataupun kewajiban
Saat ini sepertinya harus disertai dengan penjelasan mengenai mengapa begitu

Bertanya, 
Mempertanyakan apa?
Dengan tujuan apa?

Banyak hal, atau malah setiap hal bisa / boleh dipertanyakan
Untuk memperoleh pemahaman
Jawaban hanya diberikan kepada yang punya pertanyaan
Yang tidak punya pertanyaan, tidak butuh jawaban

Orang yang sakit pun hendaknya jangan hanya diobati
Tapi juga diberi pemahaman 
Agar dia bisa mencegah terkena penyakit yang sama
Kalau tidak
Dia bisa bolak balik ke penyembuh untuk sakit yang sama

Kemajuan di bidang peradaban saat ini yang kita nikmati
Termasuk saya mengetik postingan ini
Dan teman-teman membaca postingan ini
Adalah kemajuan yang diawali oleh sebuah pertanyaan
Diawali oleh sikap mempertanyakan
Oleh sikap keingin-tahuan para penemu teknologi terkait

Setiap hal, bisa dipertanyakan
Tidak terkecuali pertanyaan mengenai kenapa hidup kita begini
Pertanyaan mengenai hidup ini
Bahkan, menurut saya, kesadaran (enlightenment) yang disebut Budha itu
Diawali karena sebuah pertanyaan
Pertanyaan mengenai kenapa begini, ada apa di sana

Lalu kesadaran tertinggi yang disebut dengan “menerima hidup ini apa adanya”
Apakah sesuatu yang bertolak belakang dengan sifat kemanusiawian?
Tentunya tidak

Namun, pada umumnya, kesadaran datang setelah diberi penjelasan
Setelah diberi pemahaman
Ada berbagai pemikiran yang berbeda dari para pemikir mengenai penjelasan dari kesadaran
Penjelasan panjang yang akhirnya menuju kepada kesimpulan: terima hidup ini apa adanya
Namun, adakah yang satu merupakan penjelasan yang paling benar dibandingkan dengan penjelasan yang lain?
Menurut saya,
Sekilas mereka nampak berbeda

Mereka yang telah mencapai tingkat enlightened
Baik secara pemahaman maupun secara laku jiwa
Akan berhati-hati memberikan penjelasan
Berhati-hati menggunakan bahasa dan istilah
Kepada tingkatan orang yang berbeda
Karena akan dapat memberikan pemahaman yang keliru

Para pemikir sepakat bahwa manusia telah melakukan banyak langkah untuk mencari jawaban
Jawaban atas kebahagiaan
Namun, dari sekian banyak langkah yang telah dilakukan
Belum juga bertemu kebahagaiaan
Hal itu disebabkan karena manusia lupa
Bahwa langkah-langkah ke luar, bukan merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai kebahagiaan sejati
Karena manusia belum sadar
Bahwa sebenarnya yang diperlukan hanyalah satu langkah gampang
Yaitu langkah ke dalam

Menerima hidup apa adanya
Menerima, adalah laku yang pasif
Laku menunggu
Namun, apakah hidup ini hanya menunggu?
Diam menunggu sesuatu?

Bukan, 
Menurut saya hidup ini juga harus aktif
Melakukan sesuatu
Ibarat dua sisi mata uang
Pasif dan aktif atau sebaliknya
Mereka dua-duanya (harus) ada pada saat yang bersamaan

Menerima hidup apa adanya, belumlah lengkap
Apabila tidak dibarengi dengan melakukan sesuatu dalam hidup ini

Kemudian muncul pertanyaan
Sesuatu yang benar untuk dilakukan itu yang bagaimana?
Sesuatu yang perlu untuk dilakukan itu yang bagaimana?
Kenapa perlu melakukan hal itu?
Apakah saya dibenarkan melakukan hal-hal sekehendak hati saya?
Dibenarkan/disalahkan oleh siapa?