Thursday, 30 May 2013

DOA (MANTRAM) AGAR HIDUP ABADI (?)





Mantram dari Upanishad (Brhadaranyaka Upanishad — I.iii.28) ini banyak dipakai, dan diucapkan (chanted) berulang-ulang. Sebagaimana halnya secara umum, mengartikan suatu mantram, diperlukan kedalaman spiritual bagi yang membaca ataupun mengartikannya. Kalau tidak, kita akan cenderung hanya mendapatkan kulitnya saja, yang tidak jarang berbeda dengan isinya, alias keliru (bentuk halus dari salah) mengartikannya. Apalagi mengartikan suatu mantram yang melibatkan penterjemahan dari bahasa aslinya ke bahasa kita sendiri terlebih dahulu. Akan lebih sulit mendapatkan terjemahan yang akurat. Mantarm berikut ini sangat pendek, hanya terdiri dari 3 bait. 


Om Asato Ma Sad-Gamaya
Ya Brahman, bimbinglah aku dari yang tidak benar menuju  yang benar,
Tamaso Ma Jyotir-Gamaya
Bimbinglah aku dari kegelapan menuju cahaya yang terang
Mrtyor-Ma Amrtam Gamaya
Bimbinglah aku dari kematian menuju kehidupan abadi



Kalau kita langsung loncat ke bait terakhir, terjemahan yang sering dipakai adalah memohon bimbingan dari Tuhan / Barhman dari kematian menuju kehidupan abadi. Bilamana diartikan secara apa adanya, seolah-olah dengan doa ini, kita mengharapkan hidup yang abadi, dalam artian hidup di alam materi ini sampai akhir jaman. Yang mana hal tersebut tidak mungkin terjadi dan bertentangan dengan Dharma itu sendiri.  Namun, tidak mungkin rasanya ada mantram yang keliru. Maka kemungkinannya adalah,  kita mengartikannya tidak tepat. 

Kalau kita lihat bait pertama, - ASATo maa sad-gamaya -, mantram ini berisi permohonan bimbingan  untuk meningkatkan spiritualitas. Memohon atau punya keinginan agar tercerahkan, tercerahkan dari hal yang tidak benar, menuju hal yang benar, dari hal yang tidak nyata (semu) menuju hal yang nyata.  Yang benar (truth), yang nyata (reality) dan yang ada (existence), menurut ajaran Dharma, adalah hanya satu, yaitu yang kita sebut Brahman. Dan dalam kaitan hubungan Brahman dan Atman, maka Atman juga memiliki ketiga sifat tersebut. Yang artinya, diri kita yang sejati, yang ada, nyata dan benar adalah sang Atman.  

Jagat raya ini beserta isinya, selalu mengalami perubahan dan akan terus berubah, terus bergerak. Siklus terus berjalan, lahir-tumbuh-menua-mati (ditinggalkan)-lahir (yang baru dan lebih baik).  Tidak hanya terbatas pada hal-hal fisik, emosi manusia pun berubah-ubah, dari rasa bahagia, sedih dan marah. Menurut ajaran Dharma, kita tidak bisa menyebut dunia seperti tersebut sebagai suatu hal yang ultimately real, not ultimately true either. Ultimately, dia tidak exist. Dia Nampak real, dst, tapi sebenarnya tidak. Hal seperti ini disebut “ASAT”.  Jadi yang dituju adalah berubah dari ASAT menjadi SAT.   

Orang yang berdoa memakai mantram ini, secara teori semestinya dia sudah ingin mengurangi kemelekatan terhadap hal yang semu ini. Karena yang semu ini sangat gampang sekali, bahkan secara sekejap, bisa hilang, bagaikan istana pasir disapu ombak di pantai. Kemelakatan terhadap ASAT selalu berakhir dengan kepedihan.  Sebaliknya, SAT adalah diri kita yang sejati.  Sat adalah kebahagiaan rohani, kebahagiaan spiritual, yang pernah ada – yang saat ini ada – dan yang akan selalu ada, dan tidak akan tersapu oleh gelombang waktu. Sebenarnya SAT ada dalam setiap obyek ASAT. Tantangannya adalah, ujiannya adalah, kemampuan untuk mengupas (memisahkan antara) kulit dan isinya. Berbicara mengenai ultimate reality, kenyataan yang sejati, kita sebenarnya berbicara mengenai SAT-CIT-ANANDA.

Kalau kita lihat bait kedua – tamaso ma jyotir gamaya – artinya “bimbinglah aku dari kegelapan menuju terang". Dalam Dharma, yang dimaksudkan sebagai gelap dan terang adalah “kebodohan” dan “pengetahuan”.  Seseorang dalam kegelapan maksudnya, yang bersangkutan tidak mengetahui, ataupun mengabaikan, ataupun masih bingung mengenai kebenaran sejati. Obat dari kegelapan adalah cahaya terang, dan obat dari kebodohan adalah pengetahuan.  Pengetahuan dalam hal ini adalah pengetahuan mengenai kebenaran sejati. 




Bait ketiga – mrtyor mamrtam gamaya – artinya “bimbinglah aku dari kematian ke keabadian”.  Kalau kita lihat dua bait pertama di atas, semuanya memohon bimbingan pencerahan spiritual, maka bait ketiga ini pun masih berupa permohonan bimbingan pencerahan spiritual. Bukan memohon agar hidup abadi di dunia materi ini. Dalam ajaran Dharma, yang tak terlahirkan dan tak mati, adalah Atman, diri kita yang sejati. Sedangkan badan kasar ini, badan fisik ini, akan mati pada waktunya, dan terurai kembali ke unsur-unsur pembentuk alam. Sedangkan Atman, sang roh, tidak pernah mati. Maka yang abadi adalah Atman. Arti dari mantram bait ketiga ini, adalah memohon bimbingan agar kita sadar bahwa badan materi ini adalah sementara. Dikaitkan dengan bait pertama, bahwa kita hendaknya tidak memiliki kemelekatan kepada yang bersifat sementara, bersifat semu. Kita harus menemukan diri kita yang sejati, yang abadi, yang tidak berawal tidak berakhir. 


Dengan demikian, ketiga bait mantram ini, yang mencerminkan perjalanan (journey) seseorang, bukanlah perjalanan fisik dari satu tempat menuju ke tempat yang lain. Tapi perjalanan rohani, perjalanan di dalam diri, dari kegelapan menuju cahaya terang, yang semuanya ada dalam diri kita masing-masing.

No comments:

Post a Comment