Semoga hal baik, datang dari segala arah.
Semoga semua mahluk berbahagia.
-tatkala saya merenung liar -
Manusia yang meyakini Tuhan
Bagaimana
rumitnya sebuah gen, sebuah sel hidup? Dan bagaimana besarnya sebuah
planet bernama bumi, benda bernama matahari, alam raya seisi galaksinya,
alam raya yang lebih luas dengan milyaran galaksi, dan belum jelas,
kapan kira-kira kita akan tahu tepi dari alam raya ini, itupun kalau
tepi itu memang ada? Dan ada apakah di luar tepi tersebut? Dan betapa
menakjubkannya sistem yang membentuk alam raya ini, satu dengan yang
lain saling berkait, tediri dari barangkali trilyunan sistem-sistem
kecil, yang tidak berdiri sendiri-sndiri, yang sudah ada jutaan bahkan
mungkin milyaran tahun yang lalu. Dan kita belum tahu secara pasti, apa
itu nyawa, roh, soul?
Terciptalah kemudian berbagai konsep
keTuhanan yang masing-masing mencoba untuk memberikan penjelasan atas
misteri alam raya ini. Melihat dari hal tersebut, tidaklah mustahil,
tidak ada konesp ketuhan yang paling benar. Tapi, yang ada adalah konsep
yang lebih masuk akal (untuk sementara).
Kalau kita
meyakini Tuhanlah pencipta alam raya ini dan Tuhan maha suci dan mulia,
maka sangat bijak kalau kita memakai hal-hal yang melekat pada diri
kita, baik software maupun hardware kita, untuk tujuan
yang kita percaya sebagai ajaran Tuhan, yaitu kebaikan umat manusia,
dan alam raya. Salah satunya adalah, akal. Hanya manusialah yang
memiliki akal atau rasio atau pertimbangan. Saya meyakini, konsep
keTuhanan adalah konsep yang boleh diperdebatkan ke-masuk-akalannya. Dan
karenanya boleh diperbaharui. Menurut saya, manusia yang seimbang,
adalah manusia yang secara cerdas dapat memutuskan porsi yang tepat
antara akal dan keyakinan.
Sepatutnya, meyakini keberadaan
Tuhan, dengan konsep yang lebih masuk akal, membuat kita menjadi
manusia yang: (1) giat berkarya dan berusaha, (2) pandai bersyukur, (3)
rendah hati dan tidak sombong, (3) welas asih, (4) ikhlas, dan (5)
pemaaf. Saya tidak mengatakan bahwa orang yang tidak meyakini keberadaan
Tuhan, tidak bisa mencapai hal-hal seperti itu. Tapi, kalau orang yang
meyakini keberadaan Tuhan, kemudian hasilnya bertentangan dengan
point-point yang saya utarakan di atas, saya yakin perlu melakukan
introspeksi, di mana kekeliruannya.
Sejauh Apa Tuhan itu?
Kita
sudah sering dengar bahwa teori Darwin mencoba menjelaskan evolusi
manusia. Tapi, saya belum tahu kapan sejatinya manusia pertama itu ada
di bumi ini. Kalaupun ada penelitian yang punya bukti yang otentik
mengenai keberadaan manusia pertama kali, untuk mengetahui berapa umur
sejarah manusia di bumi ini, saya yakin tentunya hasil penelitian
tersebut menunjukkan angka tahun yang sangat lama sekali.
Dari
usia sejarah manusia di bumi ini yang sangat lama tersebut, kita bisa
membayangkan, sudah berapa kematian dan kelahiran yang terjadi di bumi
ini? Apapun keyakinan anda mengenai kehidupan setelah kematian, tidaklah
penting, tapi yang jelas pertanyaannya sama, sudah berapa roh yang
lepas dari badan manusia ini? Dan roh-roh tersebut adalah roh para
leluhur manusia. Artinya, sudah berapa jenjang leluhur yang kita miliki
saat ini?
Entah itu karena karma nya yang baik saat dia
hidup sekali di dunia fana ini (bagi yang meyakini bahwa hidup ini hanya
sekali), ataupun karena karma baik berulang dalam setiap kelahirannya
kembali (bagi yang meyakini reinkarnasi), saya yakin diantara leluhur
kita tersebut memiliki tingkat kesucian, spriritualitas dan kemampuan
metafisika yang berbeda, dari yang jeblok, sampai yang paling tinggi.
Dan setelah melewati kehidupan fana, mereka adalah energi yang sama,
dengan tingkat kesucian yang berbeda. Cara sederhana kita, pada umumnya,
untuk menggambarkan tingkatan, termasuk tingkat kesucian, adalah bahwa
yang memiliki tingkat kesucian paling tinggi, secara harfiah tempatnya
di atas sekali, paling tinggi.
Tingkat kesucian para
leluhur ini (dan pada saatnya nanti kita juga akan jadi leluhur anak
cucu kita masing-masing) juga sebanding dengan tingkat sifat keTuhanan
yang mereka miliki. Jadi, dengan pemahaman yang sederhana seperti itu,
dimana tempat Tuhan? Sudah pasti sangat jauh di atas, karena keyakinan
atas Tuhan itu maha suci dan maha pencitpta. Kesucian Tuhan maha suci,
kebesaran Tuhan maha besar terlihat dari betapa tiada duanya cipataan
Tuhan, maka tempatnya jauhhhhhhh….. di atas sana. Apakah Tuhan memang
sejauh itu tempatnya? Bukankah orang bilang Tuhan itu ada di hati kita
yang paling dekat? Sifat keTuhanan dimiliki oleh setiap orang, termasuk
kita yang hidup saat ini, dan yang akan mati menjadi leluhur nanti.
Tugas kita adalah menggali sifat keTuhanan yang ada dalam diri kita
masing-masing.
Apakah dia bener Tuhan, ataukah dia hanya leluhur kita yang suci?
- Lebih baik berprasangka baik dari pada berprasangka buruk -
Suatu
keinginan yang lumrah bagi manusia secara umum, ingin melihat dan/atau
mendengar Tuhan, secara langsung. Niatnya bisa bermacam, mungkin karena
akan merasa jauh lebih bahagia bila ketemu kekasih, ataukah niat untuk
membuktikan apakah memang Tuhan itu ada atau tidak. Tapi, apakah kita
tahu, apa bedanya bahasa yang dipakai Tuhan, dengan bahasa yang dipakai
manusia? Kalapun Tuhan itu berkomunikasi dengan manusia melalui suara
yang bisa didengar oleh telinga manusia, tentunya suara tersebut
haruslah dapat dimengerti artinya oleh manusia. Artinya, bahasa yang
dipakai Tuhan akan sama dengan bahasa yang dipakai manusia. Demikian
juga bahasa yang dipakai oleh leluhur, sama dengan bahasa yang dipakai
manusia. Lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa suara tersebut adalah
suara leluhur ataukah suara Tuhan? Lalu bagaimana kita bisa memdedakan
bahwa energi yang kita rasakan adalah energi dari leluhur ataukah energi
Tuhan? Karena energi leluhur, energi diri kita sendiri, juga memiliki
sifat keTuhanan.
Kalaupun kita bisa melihat, saya yakin yang kita
bisa lihat adalah bentuk-bentuk leluhur dengan tingkatan yang berbeda,
sesuai tingkatan kita. Karena susah untuk nyambung kalau frekwensi
keTuhanan kita berbeda. Leluhur, atau energi dengan tingkat kesucian
yang berbeda ini, tingkatannya bisa sampai (dalam bahasa Bali) tingkatan
Dewa ataupun Bhatara, bukan Shang Hyang Widhi, Tuhan yang maha esa.
Jadi,
saya meyakini, mustahil kita akan bisa melihat Tuhan yang benar-benar
Tuhan, kalau kita TIDAK memiliki sifat keTuhanan yang sama dengan Tuhan
itu sendiri. Yang kita rasakan dan lihat sekarang adalah yang kita kira
Tuhan. Namun, tetap merupakan hal yang baik, karena merupakan perjalanan
peningkatan sifat keTuhanan kita masing-masing.
Leluhur yang kasih kepada keturunannya
Sekali
lagi, leluhur yang memiliki tingkat kesucian yang maha sangat tinggi,
juga memiliki sifat keTuhanan yang sangat tinggi, dan saya yakin sangat
sayang kepada keturunannya. Leluhur orang Arab, sangat sayang kepada
keturunannya. Leluhur orang Yahudi, sangat sayang pada keturunannya.
Leluhur orang India, sangat sayang pada keturunannya. Demikian pula,
leluhur orang Nusantara, sangat sayang sama keturunannya.
Leluhur
maha suci ini setiap saat memantau dan membimbing keturunannya di alam
fana ini. Namun, bila mana keturunannya “bandel”, maka diciptakan
cara-cara yang sesuai, diciptakan ajaran yang sesuai, untuk
“menyadarkan” keturunannya tersebut, agar kembali menjadi keturunan yang
baik. Cara-cara tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis dan tingkat
ke-bandelan keturunan leluhur bersangkutan. Cara-cara berbeda tersebut,
mempunyai tujuan yang sama, yang tidak perlu saya ulang lagi. Dilihat
dari luar, cara yang dipakai di Nusantara, bisa saja berbeda dengan
cara-cara di tempat lain, demikian sebaliknya. Namun, bila dilihat lebih
dalam, semua cara itu bertujuan sama.
Kapan leluhur
Nusantara akan “menampar-menyadarkan” kita-kita yang merupakan keturunan
Beliau yang bandel-bandel ini? Mudah-mudahan tidak perlu sampai
ditampar, mudah-mudahan cepat sadar sendiri.
No comments:
Post a Comment