Wednesday 24 April 2013

KITA TIDAK AKAN PERNAH MENEMUKAN TUHAN (?)


Semoga hal baik, datang dari segala arah.
Semoga semua mahluk berbahagia.

-tatkala saya merenung liar -

Manusia yang meyakini Tuhan

Bagaimana rumitnya sebuah gen, sebuah sel hidup? Dan bagaimana besarnya sebuah planet bernama bumi, benda bernama matahari, alam raya seisi galaksinya, alam raya yang lebih luas dengan milyaran galaksi, dan belum jelas, kapan kira-kira kita akan tahu tepi dari alam raya ini, itupun kalau tepi itu memang ada? Dan ada apakah di luar tepi tersebut? Dan betapa menakjubkannya sistem yang membentuk alam raya ini, satu dengan yang lain saling berkait, tediri dari barangkali trilyunan sistem-sistem kecil, yang tidak berdiri sendiri-sndiri, yang sudah ada jutaan bahkan mungkin milyaran tahun yang lalu. Dan kita belum tahu secara pasti, apa itu nyawa, roh, soul?

Terciptalah kemudian berbagai konsep keTuhanan yang masing-masing mencoba untuk memberikan penjelasan atas misteri alam raya ini. Melihat dari hal tersebut, tidaklah mustahil, tidak ada konesp ketuhan yang paling benar. Tapi, yang ada adalah konsep yang lebih masuk akal (untuk sementara).

Kalau kita meyakini Tuhanlah pencipta alam raya ini dan Tuhan maha suci dan mulia, maka sangat bijak kalau kita memakai hal-hal yang melekat pada diri kita, baik software maupun hardware kita, untuk tujuan yang kita percaya sebagai ajaran Tuhan, yaitu kebaikan umat manusia, dan alam raya. Salah satunya adalah, akal. Hanya manusialah yang memiliki akal atau rasio atau pertimbangan. Saya meyakini, konsep keTuhanan adalah konsep yang boleh diperdebatkan ke-masuk-akalannya. Dan karenanya boleh diperbaharui. Menurut saya, manusia yang seimbang, adalah manusia yang secara cerdas dapat memutuskan porsi yang tepat antara akal dan keyakinan.

Sepatutnya, meyakini keberadaan Tuhan, dengan konsep yang lebih masuk akal, membuat kita menjadi manusia yang: (1) giat berkarya dan berusaha, (2) pandai bersyukur, (3) rendah hati dan tidak sombong, (3) welas asih, (4) ikhlas, dan (5) pemaaf. Saya tidak mengatakan bahwa orang yang tidak meyakini keberadaan Tuhan, tidak bisa mencapai hal-hal seperti itu. Tapi, kalau orang yang meyakini keberadaan Tuhan, kemudian hasilnya bertentangan dengan point-point yang saya utarakan di atas, saya yakin perlu melakukan introspeksi, di mana kekeliruannya.


Sejauh Apa Tuhan itu?

Kita sudah sering dengar bahwa teori Darwin mencoba menjelaskan evolusi manusia. Tapi, saya belum tahu kapan sejatinya manusia pertama itu ada di bumi ini. Kalaupun ada penelitian yang punya bukti yang otentik mengenai keberadaan manusia pertama kali, untuk mengetahui berapa umur sejarah manusia di bumi ini, saya yakin tentunya hasil penelitian tersebut menunjukkan angka tahun yang sangat lama sekali.

Dari usia sejarah manusia di bumi ini yang sangat lama tersebut, kita bisa membayangkan, sudah berapa kematian dan kelahiran yang terjadi di bumi ini? Apapun keyakinan anda mengenai kehidupan setelah kematian, tidaklah penting, tapi yang jelas pertanyaannya sama, sudah berapa roh yang lepas dari badan manusia ini? Dan roh-roh tersebut adalah roh para leluhur manusia. Artinya, sudah berapa jenjang leluhur yang kita miliki saat ini?

Entah itu karena karma nya yang baik saat dia hidup sekali di dunia fana ini (bagi yang meyakini bahwa hidup ini hanya sekali), ataupun karena karma baik berulang dalam setiap kelahirannya kembali (bagi yang meyakini reinkarnasi), saya yakin diantara leluhur kita tersebut memiliki tingkat kesucian, spriritualitas dan kemampuan metafisika yang berbeda, dari yang jeblok, sampai yang paling tinggi. Dan setelah melewati kehidupan fana, mereka adalah energi yang sama, dengan tingkat kesucian yang berbeda. Cara sederhana kita, pada umumnya, untuk menggambarkan tingkatan, termasuk tingkat kesucian, adalah bahwa yang memiliki tingkat kesucian paling tinggi, secara harfiah tempatnya di atas sekali, paling tinggi.

Tingkat kesucian para leluhur ini (dan pada saatnya nanti kita juga akan jadi leluhur anak cucu kita masing-masing) juga sebanding dengan tingkat sifat keTuhanan yang mereka miliki. Jadi, dengan pemahaman yang sederhana seperti itu, dimana tempat Tuhan? Sudah pasti sangat jauh di atas, karena keyakinan atas Tuhan itu maha suci dan maha pencitpta. Kesucian Tuhan maha suci, kebesaran Tuhan maha besar terlihat dari betapa tiada duanya cipataan Tuhan, maka tempatnya jauhhhhhhh….. di atas sana. Apakah Tuhan memang sejauh itu tempatnya? Bukankah orang bilang Tuhan itu ada di hati kita yang paling dekat? Sifat keTuhanan dimiliki oleh setiap orang, termasuk kita yang hidup saat ini, dan yang akan mati menjadi leluhur nanti. Tugas kita adalah menggali sifat keTuhanan yang ada dalam diri kita masing-masing.


Apakah dia bener Tuhan, ataukah dia hanya leluhur kita yang suci?

- Lebih baik berprasangka baik dari pada berprasangka buruk -

Suatu keinginan yang lumrah bagi manusia secara umum, ingin melihat dan/atau mendengar Tuhan, secara langsung. Niatnya bisa bermacam, mungkin karena akan merasa jauh lebih bahagia bila ketemu kekasih, ataukah niat untuk membuktikan apakah memang Tuhan itu ada atau tidak. Tapi, apakah kita tahu, apa bedanya bahasa yang dipakai Tuhan, dengan bahasa yang dipakai manusia? Kalapun Tuhan itu berkomunikasi dengan manusia melalui suara yang bisa didengar oleh telinga manusia, tentunya suara tersebut haruslah dapat dimengerti artinya oleh manusia. Artinya, bahasa yang dipakai Tuhan akan sama dengan bahasa yang dipakai manusia. Demikian juga bahasa yang dipakai oleh leluhur, sama dengan bahasa yang dipakai manusia. Lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa suara tersebut adalah suara leluhur ataukah suara Tuhan? Lalu bagaimana kita bisa memdedakan bahwa energi yang kita rasakan adalah energi dari leluhur ataukah energi Tuhan? Karena energi leluhur, energi diri kita sendiri, juga memiliki sifat keTuhanan.
Kalaupun kita bisa melihat, saya yakin yang kita bisa lihat adalah bentuk-bentuk leluhur dengan tingkatan yang berbeda, sesuai tingkatan kita. Karena susah untuk nyambung kalau frekwensi keTuhanan kita berbeda. Leluhur, atau energi dengan tingkat kesucian yang berbeda ini, tingkatannya bisa sampai (dalam bahasa Bali) tingkatan Dewa ataupun Bhatara, bukan Shang Hyang Widhi, Tuhan yang maha esa.

Jadi, saya meyakini, mustahil kita akan bisa melihat Tuhan yang benar-benar Tuhan, kalau kita TIDAK memiliki sifat keTuhanan yang sama dengan Tuhan itu sendiri. Yang kita rasakan dan lihat sekarang adalah yang kita kira Tuhan. Namun, tetap merupakan hal yang baik, karena merupakan perjalanan peningkatan sifat keTuhanan kita masing-masing.


Leluhur yang kasih kepada keturunannya

Sekali lagi, leluhur yang memiliki tingkat kesucian yang maha sangat tinggi, juga memiliki sifat keTuhanan yang sangat tinggi, dan saya yakin sangat sayang kepada keturunannya. Leluhur orang Arab, sangat sayang kepada keturunannya. Leluhur orang Yahudi, sangat sayang pada keturunannya. Leluhur orang India, sangat sayang pada keturunannya. Demikian pula, leluhur orang Nusantara, sangat sayang sama keturunannya.

Leluhur maha suci ini setiap saat memantau dan membimbing keturunannya di alam fana ini. Namun, bila mana keturunannya “bandel”, maka diciptakan cara-cara yang sesuai, diciptakan ajaran yang sesuai, untuk “menyadarkan” keturunannya tersebut, agar kembali menjadi keturunan yang baik. Cara-cara tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis dan tingkat ke-bandelan keturunan leluhur bersangkutan. Cara-cara berbeda tersebut, mempunyai tujuan  yang sama, yang tidak perlu saya ulang lagi. Dilihat dari luar, cara yang dipakai di Nusantara, bisa saja berbeda dengan cara-cara di tempat lain, demikian sebaliknya. Namun, bila dilihat lebih dalam, semua cara itu bertujuan sama.

Kapan leluhur Nusantara akan “menampar-menyadarkan” kita-kita yang merupakan keturunan Beliau yang bandel-bandel ini? Mudah-mudahan tidak perlu sampai ditampar, mudah-mudahan cepat sadar sendiri.


No comments:

Post a Comment