Jika ditanya apa film yang paling berkesan, maka saya akan jawab salah
satunya adalah, The Gods Must Be Crazy. Bagi saya, film ini menyuguhkan kesederhanaan komedi yang
sangat lucu, yang mana saya tonton beberapa kali dalam waktu berbeda,
masih tertawa terpingkal-pingkal juga. Ya, lucu.
Dulu, hanya komedi situasi ala Caphlin atau pelawak Srimulat, yang
melekat di pikiran saya dari film ini. Tapi, kalau kita cermati, film
ini juga sepertinya (disengaja atau tidak oleh penulis cerita)
menyampaikan sindiran kepada umat manusia pada umunya, dalam hal
beragama. Dua alur cerita terpisah: kisah manusia bushman bernama Xi dan kisah percintaan seorang ahli biologi dan guru sekolah dasar, berjalan secara pararel.
Dalam ulasan ini, saya ambil kisa si manusia bushman saja.
Bagi yang sudah menonton, tentunya tidak lupa dgn cerita film tsb. Seorang
bushman beserta keluarganya di gurun Kalahari di Afrika, yang
digambarkan tidak civilized bak orang kulit putih, alias masih primitif,
jauh dari modernisasi, “kejatuhan” botol minuman dari langit. Yang
sebenarnya dijatuhkan oleh seorang pilot pesawat ringan. Namun bagi
keluarga bushman ini, karena ketidaktahuannya, menganggap benda (botol
beling) tersebut dijatuhkan dari langit oleh para dewa (the Gods) yang lagi terbang melintas di langit. Benda (botol)
tersebut banyak memberikan manfaat kepada keluarga tsb, tapi juga di
saat yang lain, menjadi sumber pertengkaran dalam keluarga tersebut.
Karena menjadi sumber pertengkaran, maka mereka ingin mengembalikan
benda tersebut kepada Gods, dengan melemparkannya ke langit, yang mana
tentu saja benda tsb jatuh lagi, dan kebetulan mengenai kepala salah
satu anggota keluarganya. The Gods, must be crazy memberikan benda seperti
itu.
Maka mulailah perjalanan orang bushman ini mencari
tempatnya the Gods, untuk mengembalikan benda tersebut, dimana menurut
pemahaman mereka, tempatnya pastilah di ujung dunia ini. Dalam
perjalanan tersebut, dia banyak menemukan hal baru, yang dia kira sebagi the Gods itu sendiri. Beberapa kali merkea kecewa, orang yang ditemuinya di tengah perhjalanan, yang semula mereka kira the Gods, ternyata bukan the Gods itu sendiri. Akhirnya dia hanya sampai di suatu tempat, yang dia
kira sebagai akhir dari perjalanannya (mencari tepi dunia). Padahal
kalau tepi dunia yang benar-benar mereka mau cari, mereka sebenarnya belum
nyampai. Tapi karena mereka meyakininya sudah sampai, lega hati mereka.
Dalam beberapa hal, menurut saya, ini merupakan sindiran kepada kita yang beragama, di mana agama menjadi sumber pertengkaran bagi pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya, padahal semua agama meyakini bahwa agamanya adalah wahyu dari Tuhan. Sekali lagi, sindiran. Bukan secara harfiah mempertentangkan antara modernisasi vs agama.
Karena menjadi sumber pertikaian, haruskah kita seperti orang bushman tersebut di atas, mengembalikan agama tersebut kepada penicptanya? Kepada Tuhan?
Is the God crazy? Ataukah kita yang masih "primitif" memahami agama? Ataukah ada sekelompok orang yang dengan sengaja menunggangi agama untuk kepentingan kelompoknya, yang mana hal itu bertentangan dengan agama yang murni?
No comments:
Post a Comment